Selasa, 20 September 2022

Suku di indonesia dan khasnya

1.Suku Nias adalah kelompok etnik yang berasal dari Pulau Nias. Mereka menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono berarti anak/keturunan; Niha = manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö berarti tanah). Hukum adat tradisional Nias secara umum disebut fondrakö. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang

Sebagian besar orang berada di provinsi Sumatra Utara, tepatnya di Pulau Nias. Pulau Nias terbagi menjadi lima wilayah administrasi, yakni 4 kabupaten dan 1 kota. Jumlah orang Nias cukup signifikan di provinsi Riau. Tahun 2010, jumlah orang Nias di Indonesia sebanyak 1.041.925 jiwa (0,44%) dari 236.728.379 jiwa penduduk.[1]

MakananGowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)Rakigae (pisang goreng)Tamböyö (ketupat)löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)Gae nibogö (pisang bakar)Kazimone (terbuat dari sagu)Wawayasö (nasi pulut)Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan)Peralatan Rumah TanggaBowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisionalFiga lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makananHalu (alat menumbuk padi) - dfsfLösu - lesungGala - dari kayu seperti talamSole mbanio - tempat minum dari tempurungKatidi - anyaman dari bambuNiru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)Haru - sendok nasiFamofu - alat niup api untuk memasakFogao Banio (alat pemarut kelapa)MinumanTuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa mencapai kadar alkohol 43%.Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias


2.Suku Bugis (Lontaraᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗAbjad Jawiاورڠ بوݢيس) merupakan kelompok etnik pribumi yang berasal dari provinsi Sulawesi SelatanIndonesia. Meskipun populasinya hanya sekitar enam juta, orang Bugis berpengaruh dalam politik di Indonesia modern, dan secara historis berpengaruh di Semenanjung Malaysia dan bagian lain kepulauan tempat mereka bermigrasi, dimulai pada akhir abad ketujuh belas. Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, adalah orang Bugis. Di Malaysia, Perdana Menteri keenam, Najib Razak, dan mantan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin memiliki darah keturunan Bugis

Suku Bugis menganggap lontara sebagai sumber tertulis yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Orang Bugis menggunakan lontara sebagai alat untuk menyampaikan cara berpikir dan pengalaman masa lalu masyarakatnya. Lontara dijadikan sebagai simbol budaya suku Bugis yang diwariskan dari masyarakat terdahulu ke masyarakat masa berikutnya.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis

3.Damal adalah suatu kelompok etnis atau suku bangsa yang berasal dari wilayah pegunungan daerah Nabire di Provinsi Papua TengahIndonesia. Bahasa Damal adalah media komunikasi antara sesama etnis Damal. Etnis Damal pada zaman dahulu telah memasak makanan dengan menggunakan 

Menurut legenda orang Damal berasal dari daerah ‘Mepingama’ Lembah Baliem Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata ‘kurima’ yang artinya tempat pertama kali nenek moyang orang Damal berkumpul dan "Hitigima’ yang berarti nenek moyang orang Damal pertama kali mendirikan honai dari alang-alang.


Honai merupakan rumah adat suku damal secara turun-temuruan sampai kini. Honai yang terbuat dari alang-alang ini berarti bukan semuanya dari alang-alang melainkan atapnya saja yang dari alang-alang, kalau yang lain semuanya dari kayu-kayu tertentu yang bisa bertahan hingga puluhan tahun lamanya.


Dari tempat kurima inilah pendiri berbagai suku tinggal, dari sini mereka meninggalkan kurima satu persatu menju ke arah barat. Orang Mee pertama kali keluar dari daerah ini, diikuti oleh suku ‘Moni’ setelah itu suku Damal dan suku Dani. Orang Damal Memasuki Daerah Ilaga dan Beoga Orang Damal mulai memasuku daerah Ilop yang sekarang disebut Ilaga dan Beoga. Daerah Beoga ini merupakan pusatnya suku Damal, mereka mendiami di sepanjang sungai Beogong dari hilir sampai dengan hulu.


Dari daerah Beoga dan Ilaga inilah orang Damal kemudian menyebar ke Jila, Alama, Bella, Stinga, Hoeya, Temabagapura (kampung Waa), Aroanop, Timika, dan Agimuga. Daerah-daerah ini secara turun-temurun mereka hidup menetap.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Damal

4.Suku Badui (Bahasa Badui: Urang Kanékés) atau kadang sering disebut Badui merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Badui Dalam.

Suku Badui bermukim di wilayah di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Permukimannya terpusat di daerah aliran sungai pada sungai Ciujung yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya Pegunungan Kendeng.[2] Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng yang berjarak sekitar 40km dari Kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

Sebutan "Badui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENI GRAFIS MENGGUNAKAN AM (ALIGHT MOTION)